Monday, December 15, 2008

Al-IMAM ABUL HASAN ASY-SYAZILI

Abul Hasan Asy-Syazili adalah seorang tokoh sufi yang sudah termasyhur. Hizb An-Nashr yang merupakan kumpulan doa-doa untuk meraih kemenangan dalam menghadapi musuh-musuh Islam sering dibaca dalam kumpulan wirid-wirid Dala’il Al-Khairat. Karangannya As-Sirrul Jalil fi Khawash Hasbunnal wa Ni’mal Wakil (rahasia yang agung dalam keistimewaan Hasbiyallahu wa ni’mal wakil) telah menampilkan suatu alam yang khas kaum sufi. Alam yang tidak dapat dijamah lewat pendekatan logika. Sebab “perangkat-perangkat” yang digunakan adalah suatu yang lain dari rasio. Dari itu pula maka tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa menilai dan menghukum alam ini dengan rasio adalah suatu kesia-siaan.
Sekalipun demikian jauh keterlibatan dan peran Abul Hasan dan tokoh-tokoh sufi seperti Ibrahim bin Adham, Al-Junaid Al-Baghdadi, Ibn ‘Atha’ As-Sakandari, Al-Qusyairi dalam alam rohani yang khas ini, tapi patut diakui bahwa mereka tidak pernah melampaui tapal batas syari’at. Justru alam kerohanian yang mereka bangun berdiri kokoh di atas garis-garis syariat yang jelas dan terang. Tidak seperti beberapa tokoh lain atau pengaku-pengaku diri mereka sebagai waliyullah yang memutuskan syari’at dari praktik ritual mereka. Ketika seorang laki-laki menyebutkan di depan Al-Junaid Al-Baghdadi tentang ma’rifat Allah Ta’ala dan ia mengatakan bahwa ahli ma’rifah adalah orang-orang yang sampai ke tingkat meninggalkan segala amal perbuatan sebagai suatu sikap kebajikan dan pendekatan diri kepada Allah Ta’ala, Al-Junaid—yang bermazhab Abu Tsaur dalam fiqhnya— dengan tegas membantah, “Itu perkataan sekelompok orang yang tidak mementingkan amal perbuatan. Menurutku itu merupakan suatu dosa besar. Orang yang mencuri dan berzina lebih baik kondisinya daripada orang yang berkata demikian. Ahli ma’rifat adalah orang-orang yang menunaikan amal-amal yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala sebagaimana yang dituntut oleh Allah Ta’ala kepadanya. Andai kata aku dapat hidup seribu tahun, maka sungguh aku tidak akan pernah meninggalkan amal kebaikan walaupun yang sebutir debu kecuali ada hal yang merintangiku untuk itu.” Al-Junaid juga mengatakan, “Orang yang tidak menghafal Al-Qur’an dan mencatat hadits tidak dapat diikuti dalam persoalan ini (tasauf), karena ilmu pengetahuan kami terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.” (Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah)
Tidak hanya itu, mereka juga tokoh-tokoh yang peka dan berinteraksi secara dinamis dengan kondisi umat. Ramuan-ramuan kerohanian syar’iy—jika tepat disebut demikian—yang mereka sodorkan, pada tingkat pertama justru terarah pada perbaikan kondisi kehidupan zaman mereka hidup. As-Sirrul Jalil karangan Abul Hasan secara serta merta menampilkan zaman di mana umat Islam menghadapi kondisi yang kritis; berbagai bahaya datang menggerogati tubuh umat baik dari luar (Eropa salibis dan Tatar) maupun dari dalam (perebutan kekuasaan dan kesewenang-wenangan penguasa). Abul Hasan datang menawarkan konsep perbaikannya yang khas. Suatu konsep yang ditarik dari kedalaman alam di mana ia hidup secara konkrit. Dan bukankah Allah Ta’ala akan mengganjari amal baik hamba-Nya atas dasar niat dan maksud baiknya?! Sekalipun dengan konsep dan methode yang berbeda satu sama lain.
Sebaris dua baris mengenai riwayat hidup Sayyidi Abul Hasan Asy-Syazili, pendiri thariqah Asy-Syaziliyyah, agaknya cukup untuk sekadar mewakili suatu ungkapan penghormatan dan penghargaan kepada tokoh ini, yang telah berpihak kepada kemaslahatan umat di dunia dan akhirat.
Nama lengkapnya: Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar. Garis keturunannya bersambung sampai kepada Al-Hasan putra Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra’ binti Rasulullah saw..
Abul Hasan dilahirkan pada 593 Hijriyah di Maghrib (Maroko), di kota Ghamarah, tidak jauh dari Sabtah (Ceuta). Di kota itulah Abul Hasan mulai menimba berbagai ilmu pengetahuan agama sampai ia benar-benar menguasainya. Namun betapa pun dalam dan mapan penguasaan seseorang terhadap ilmu-ilmu lahiriyah semacam Fiqh, Nahwu dan Sharaf, ternyata itu masih belum dapat membawa jiwa menyelam ke alam kerohanian yang tinggi. Abul Hasan memendam suatu hasrat yang amat kuat untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta ingin menerangi kalbunya dengan Nur Ma’rifah (cahaya ma’rifat Allah Ta’ala). Ia lantas mengambil keputusan untuk merantau ke Irak yang pada waktu itu merupakan kota tujuan setiap penuntut ilmu dunia dan agama. Karena Irak, di samping tempat para ahli-ahli ilmu dunia, juga merupakan pusat tokoh-tokoh terkemuka dalam bidang fiqh, hadits dan tasauf.
Ketika ia sampai di Baghdad, banyak waliyullah yang dijumpainya. Tokoh yang paling terkemuka pada waktu itu menurut Abul Hasan, adalah Abul Fath Al-Wasithi. Di Baghdad, Abul Hasan rahimahullah berusaha mencari tahu siapa gerangan quthb di Baghdad. Sampai pada suatu ketika seorang waliyullah mengatakan kepadanya, “Hai Abul Hasan, Anda mencari quthb di Irak sementara quthb yang Anda cari itu justru berada di negeri Anda sendiri. Kembalilah ke sana, tentu Anda akan menjumpainya!”
Abul Hasan lalu kembali ke kota kelahirannya, Ghamarah, dengan penuh harapan semoga orang yang dicarinya selama ini dapat ia temui. Dan ternyata kepulangannya ke Ghamarah beroleh hasil, di sana ia bertemu dengan Al-Quthb Al-Akbar Abdussalam bin Masyisy, imam penduduk Maghrib sebagaimana Asy-Syafi’i imam penduduk Mesir.
Ibnu Masyisy beribadah di satu gua di puncak sebuah bukit di Ghamarah. Semenjak itu Abul Hasan sering mendatangi dan berguru kepadanya. Salah satu ajaran yang diterima Abul Hasan dari gurunya itu berbunyi, “Arahkan penglihatan iman, niscaya engkau akan mendapati Allah pada segala sesuatu.”
Ibnu Masyisy telah meramalkan tentang peristiwa-peristiwa besar yang akan dilalui oleh Abul Hasan dalam hidupnya, dan karena itu ia menganjurkannya untuk pindah ke Afrika (sebutan untuk Tunisia pada zaman itu). Dalam Durratul Asrar diterangkan bahwa Ibnu Masyisy memang menentukan kota Syazilah di Afrika, bukan yang lain, sebagai tempat yang akan dituju oleh muridnya ini. “Allah ‘Azza wa Jalla menamakanmu Asy- Syazili,” demikian kata Ibnu Masyisy kepada Abul Hasan. Setibanya di Syazilah, ia langsung meneruskan perjalanannya ke Jabal Zaghwan, dan menundukkan dirinya semata-mata kepada Allah Ta’ala lewat beribadah, shalat, puasa, tilawah dan tasbih. Meskipun demikian Syeikh Abul Hasan tidak menyembunyikan diri (mahjub) dari orang-orang yang ingin menjumpainya, ia selalu menyambut dengan baik setiap pecinta ma’rifah, yang memang benar-benar serius dalam menuntutnya. Di dalam gua di gunung itulah, ia berkhalwah sampai dengan hatinya benar-benar kosong daripada selain Allah, jiwanya suci dari segala keburukan, dan kebaikan telah terpatri dalam dirinya. Baru setelah itu, ia kembali bergabung dalam masyarakat untuk memberi petunjuk dan bimbingan kepada hamba-hamba Allah yang lain.
Mengenai penisbahan dirinya kepada Syazilah, Abul Hasan menuturkan, “Pernah aku berkata, wahai Tuhan-ku, mengapa Engkau menamakanku dengan Asy-Syazili sedangkan aku tidak berasal dari Syazilah? Maka aku seolah-olah mendengar Suara mengatakan, wahai Ali, Aku tidak menamakanmu dengan Asy-Syazili, akan tetapi engkau adalah seorang Syazzili.” Syazzili dibaca dengan dengan tasydid huruf “dzal”, bermakna: orang yang diistimewakan untuk menjadi pelayan-Ku [lewat ibadah] dan memperoleh kecintaan-Ku.
Dari Syazilah, Syeikh Abul Hasan Asy-Syazili bertolak ke kota Tunisia, tempat mana dirinya akan menanggung suatu cobaan berat. Hal ini pernah diramalkan oleh Ibnu Masyisy ketika ia mengatakan kepada Abul Hasan, “Akan ditimpakan ujian kepadamu di sana (Tunisia) dari pihak penguasa.” Kisahnya, kepala hakim di Tunisia bernama Ibnu Al-Barra’ merasa iri melihat Abul Hasan mempunyai banyak murid dan populer di kalangan masyarakat, di samping tidak sedikit ahli-ahli fiqh dan ulama’ yang mengikuti majlisnya. Iri hati tersebut mendorong Ibnu Al-Barra’ untuk menghasut Abul Hasan kepada Sultan Tunisia. Sultan yang termakan hasutan Ibnu Al-Barra’ lantas memerintahkan untuk mengurung Syeikh Abul Hasan di istananya untuk beberapa waktu. Namun apa yang terjadi? Dalam waktu itu pula Sultan ditimpa oleh banyak kejadian yang memilukan. Dan Sultan akhirnya menyadari bahwa apa yang terjadi kepada dirinya adalah bahagian dari karamah Abul Hasan Asy-Syazili. Maka tanpa menunggu lama, ia pun membebaskan Abul Hasan.
Dari Tunisia, Abul Hasan kemudian pindah ke Mesir. Kedatangannya di Mesir pada waktu itu bukan merupakan kali yang pertama. Sebab sebelumnya ia sudah pernah singgah di Mesir dalam perjalanannya menuju tanah suci untuk menunaikan fardhu haji. Tentang alasan mengapa ia datang lagi ke Mesir, Syeikh Abul Hasan mengungkapkan, “Dalam mimpiku aku melihat Rasulullah saw., dan beliau berkata, ‘Hai Ali, pindahlah engkau ke negeri Mesir, [dan di sana nanti] engkau akan mengasuh 40 orang teman.’.” Ia kemudian tiba di Alexandria (Iskandariyah), dan menikah di sana. Dari pernikahannya itu ia memperoleh keturunan; tiga lelaki dan dua perempuan. Hari-hari yang dilaluinya selama menetap di Mesir merupakan masa ketentraman lahir dan batin baginya. Sultan Mesir telah menghibahkan kepada Abul Hasan sebuah benteng di Iskandariyah untuk tempat tinggal keluarganya. Pada waktu ia menetap di Mesir itu pula masa yang penuh barakah bagi Mesir, bukan saja dari sisi da’wah, tapi juga dari sisi bahwa Mesir telah memuliakan seorang ulama’ yang paling tinggi dan utama, baik ilmu maupun akhlaknya. Dalam Qamus Al-Muhith karangan Al-Fairuz-abadi diterangkan: “Termasuk di antara orang-orang yang menghadiri majlisnya (yakni Abu al-Hasan) ialah ‘Izzuddin bin Abdussalam dan Ibnu Daqiqil ‘Id, dua tokoh ulama terpandang. Selain mereka, termasuk pula Al-Hafiz Al-Munziri, Ibnu Al-Hajib, Ibnu Shalah, Ibnu ‘Ushfur, serta ulama-ulama lain dari Madrasah Kamiliyah di Kairo.” Kamiliyah adalah madrasah yang pembelajaran fiqhnya didasarkan kepada mazhab Imam Asy-Syafi’i, didirikan oleh Sultan Al-Kamil, kemenakan Shalahuddin Al-Ayyubi, di permulaan abad ke-7 Hijriyah. Madrasah itu terletak di Jalan Al-Muiz Lidinillah (Jalan Ash-Shaghah). Madrasah ini juga pernah masyhur dengan nama Darul Hadits lantaran Sultan Al-Kamil menyediakannya khusus untuk para pelajar dan pengajar Hadits. Sesudah mereka, baru kemudian tempat tersebut dimafaatkan oleh para ahli fiqh mazhab Asy-Syafi’i. Sultan Kamil telah mewaqafkan berbagai harta dalam bentuk benda yang dari hasilnya dapat dipakai untuk membiayai seluruh keperluan madrasah.
Abul Hasan berpenampilan bagus, ucapan-ucapannya enak didengar dan tidak berhaluan radikal dalam kesufiannya sebab ia mengatakan, “Thariqah ini bukan merupakan sikap ruhban (biarawan); tidak makan gandum dan kurma, dan bukan pula dengan banyak mengucapkan kata-kata sastra. Tetapi ia adalah sabar dalam menerima segala suruhan (syariat Islam) dan yakin dalam hidayah.”
Yaqut Al-‘Arsy menukilkan dari gurunya, Abul ‘Abbas Al Mursi, bahwa Abul Hasan Ali Asy-Syazili menunaikan fardhu haji pada setiap tahun. Ia menempuh jalan melalui Sha’id Mishr (Upper Egypt/kawasan hulu Mesir), dan berdiam di Makkah dari bulan Rajab sampai dengan selesai musim haji kemudian pergi menziarahi makam Nabi saw.. Sebelum keberangkatannya pada kali yang terakhir di tahun 656 Hijriyah, ia meminta kepada pelayannya untuk membawa kapak, keranjang besar, ramu-ramuan yang biasa dipakai untuk mayat agar tidak lekas rusak, serta semua perlengkapan untuk pengurusan mayat. Ketika si pelayan menanyakan kepentingan semua itu, Abul Hasan menjawab, “Di Humaitsara akan ada al-khabar al-yaqin (kabar yang meyakinkan, yakni maut).” Humaitsara adalah satu daerah di kawasan pelabuhan ‘Izab yang terletak di pantai barat Laut Merah. Di Humaitsara ini terdapat mata air Zu’aq dan perkampungan-perkampungan. Tatkala Abul Hasan tiba di Humaitsra, ia langsung mandi serta shalat dua raka’at, dan sesudah itu ia pun pergi kembali kepada Tuhan Penciptanya. Abul Hasan dimakamkan di Humaitsara. Dalam Rihlah Ibnu Bathuthah tercatat: “Aku telah mengunjungi makamnya; dan di atas makam ada sebuah kubah yang di situ tertulis nama dan silsilah Abul Hasan yang sampai kepada Hasan bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah Ta’ala merahmati mereka semuanya).”
Dalam Rihlah Ibnu Jubair dan Ibnu Bathuthah, dan Al-Khuthuth Al-Maqriziyyah terdapat keterangan bahwa ‘Izab adalah sebuah pelabuhan di Laut Qalzum, tidak ada perkotaan di sana, akan tetapi ia termasuk pelabuhan yang amat terkenal di dunia pelayaran. Kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan itu datang dari dari Yaman, Habsyah (Ethiopia), dan India. ‘Izab juga merupakan jalan menuju Tanah Suci dari Mesir, yang ditempuh oleh orang-orang yang ingin menunaikan haji dengan melintasi Qaush. Dari situ mereka naik kapal menuju Jeddah. ‘Izab telah dijadikan jalur lalu-lintas menuju Hijaz oleh para jama’ah haji Mesir dan Maroko selama 200 tahun lebih. Tapi penggunaan jalur ini kemudian dihentikan dalam tahun 766 Hijriyah. Maka semenjak abad ke-10 Hijriyah, ‘Izab hanya tinggal puing, jalan-jalannya telah hilang dan orang-orang haji merubah rute perjalanan mereka ke jalur lintas Suez – ‘Aqabah, kemudian menyusuri tepi timur Laut Merah menuju Jeddah.
Ibnu Jubair menggambarkan perjalanan haji dari Qaush ke ‘Izab, katanya, “Lalu lintas antara Qaush dan ‘Izab ada dua: pertama, yang disebut dengan jalan Al- ‘Abdain; dan lainnya, yang disebut dengan Humaitsara, dan yang terakhir inilah yang dilalui oleh Syaikhuna Abul Hasan dalam perjalanan terakhirnya menuju negeri-negeri Hijaz, dan di Humaitsara itu pula ia menemui ajalnya pada tahun 656 Hijriyah serta dimakamkan dalam rumahnya di sana.”
Rahimahullah Sayyidi Abul Hasan Asy-Syazili.

Sulthonul Auliya Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani

Syekh Abdur Qadir Jailani adalah adalah imam yang zuhud dari kalangan sufi. Beliau lahir tahun 470 H di Baghdad dan mendirikan tariqat al-Qadiriyah. Diantara tulisan beliau antara lain kitab Al-Fathu Ar-Rabbani, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haq dan Futuh Al-Ghaib. Tahun wafat beliau tercatat tahun 561 H bertepatan dengan 1166 M. Beliau adalah seorang yang shalih . Bila dirunut ke atas dari nasabnya, beliau masih keturunan dari Ali bin Abi Talib. Nama lengkap beliau adalah Abu Shalih Sayidi Abdul Qodir bin Musa bin Abdullah bin Yahya Az-zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Mahdhi bin Hasan al-Mutsana bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra.

Jumlah karomah yang dimiliki oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani banyak sekali:

Syaikh Abil AbbasAhmad ibn Muhammadd ibn Ahmad al-Urasyi al-Jily:

Pada suatu hari, aku telah menghadiri majlis asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani berserta

murid-muridnya yang lain. Tiba-tiba, muncul seekor ular besar di pangkuan asy-Syaikh. Maka orang ramai yang hadir di majlis itu pun berlari tunggang langgang, ketakutan. Tetapi asy-Syaikh al-Jilani hanya duduk dengan tenang saja. Kemudian ular itu pun masuk ke dalam baju asy-Syaikh dan telah merayap-rayap di badannya. Setelah itu, ular

itu telah naik pula ke lehernya. Namun, asy-Syaikh masih tetap tenang dan tidak berubah keadaan duduknya. Setelah beberapa waktu berlalu, turunlah ular itu dari badan asy-Syaikh dan ia telah seperti bicara dengan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani . Setelah itu, ular itu pun ghaib. Kami pun bertanya kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani tentang apa yang telah dipertuturkan oleh ular itu. Menurut beliau ular itu telah berkata bahwa dia telah menguji wali-wali Allah yang lain, tetapi dia tidak pernah bertemu dengan

seorang pun yang setenang dan sehebat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani .

Pada suatu hari, ketika asy-Syaikh sedang mengajar murid-muridnya di dalam sebuah majlis, seekor burung telah terbang di udara di atas majlis itu sambil mengeluarkan satu bunyi yang telah mengganggu majlis itu. Maka asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun berkata, “Wahai angin, ambil kepala burung itu.” Seketika itu juga, burung itu telah

jatuh ke atas majlis itu, dalam keadaan kepalanya telah terputus dari badannya.

Setelah melihat keadaan burung itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun turun dari kursi tingginya dan mengambil badan burung itu, lalu disambungkan kepala burung itu ke badannya. Kemudian asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah berkata, “Bismillaahirrahmaanirrahim.” Dengan serta-merta burung itu telah hidup kembali dan

terus terbang dari tangan asy-Syaikh.

Maka takjublah para hadirin di majlis itu karena melihat kebesaran Allah yang telah ditunjukkanNya melalui tangan asy-Syaikh.

Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:

Pada suatu hari, di dalam tahun 537 Hijrah,seorang lelaki dari kota Baghdad (dikatakan oleh setengah perawi bahawa lelaki itu bernama Abu Sa‘id ‘Abdullah ibn Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Baghdadi) telah datang bertemu dengan asy-Syaikh Jilani, berkata, bahwa dia mempunyai seorang anak dara cantik berumur enam belas tahun bernama Fatimah. Anak daranya itu telah diculik (diterbangkan) dari atas anjung rumahnya oleh

seorang jin. Maka asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun menyuruh lelaki itu pergi pada malam hari itu, ke suatu tempat bekas rumah roboh, di satu kawasan lama di kota Baghdad bernama al-Karkh.

“Carilah bonggol yang kelima, dan duduklah di situ. Kemudian, gariskan satu bulatan sekelilingmu di atas tanah. Kala engkau membuat garisan, ucapkanlah “Bismillah, dan di atas niat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani ” Apabila malam telah gelap, engkau akan didatangi oleh beberapa kumpulan jin,

dengan berbagai-bagai rupa dan bentuk. Janganlah engkau takut. Apabila waktu hampir terbit fajar, akan datang pula raja jin dengan segala angkatannya yang besar. Dia akan bertanya hajatmu. Katakan kepadanya yang aku telah menyuruh engkau datang bertemu dengannya. Kemudian ceritakanlah kepadanya tentang kejadian yang telah menimpa anak

perempuanmu itu.”

Lelaki itu pun pergi ke tempat itu dan melaksanakan arahan asy-Syaikh Abdul Qodir

Al-Jilani itu. Beberapa waktu kemudian, datanglah jin-jin yang coba menakut-nakutkan lelaki itu, tetapi jin-jin itu tidak berkuasa untuk melintasi garis bulatan itu. Jin-jin itu telah datang bergilir-gilir, yakni satu kumpulan selepas satu kumpulan. Dan akhirnya, Datanglah raja jin yang sedang menunggang seekor kuda dan telah disertai oleh satu angkatan yang besar dan hebat rupanya.

Raja jin itu telah memberhentikan kudanya di luar garis bulatan itu dan telah bertanya kepada lelaki itu, “Wahai manusia, apakah hajatmu?”Lelaki itu telah menjawab, “Aku telah disuruh oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani untuk bertemu denganmu.”

Begitu mendengar nama asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani diucapkan oleh lelaki itu, raja jin itu telah turun dari kudanya dan terus mengucup bumi. Kemudian raja jin itu telah duduk di atas bumi, disertai dengan seluruh anggota rombongannya. Sesudah itu, raja jin itu telah bertanyakan masalah lelaki itu. Lelaki itu pun menceritakan kisah anak daranya yang telah diculik oleh seorang jin. Setelah mendengar cerita lelaki itu, raja jin itu pun memerintahkan agar dicari si jin yang bersalah itu. Beberapa waktu kemudian, telah

dibawa ke hadapan raja jin itu, seorang jin lelaki dari negara Cina bersama-sama dengan anak dara manusia yang telah diculiknya.Raja jin itu telah bertanya, “Kenapakah engkau

sambar anak dara manusia ini? Tidakkah engkau tahu yang dia ini berada di bawah naungan al-Quthb ?”

Jin lelaki dari negara Cina itu telah mengatakan yang dia telah jatuh berahi dengan anak dara manusia itu. Raja jin itu pula telah memerintahkan agar dipulangkan perawan itu kepada bapanya, dan jin dari negara Cina itu pula telah dikenakan hukuman pancung kepala. Lelaki itu pun mengatakan rasa takjubnya dengan segala perbuatan raja jin itu, yang sangat patuh kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani.

Raja jin itu berkata pula, “Sudah tentu, karena asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani boleh melihat dari rumahnya semua kelakuan jin-jin yang jahat.

Dan mereka semua sedang berada di sejauh-jauh tempat di atas bumi, karena telah lari dari sebab kehebatannya. Allah Ta’ala telah menjadikan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani bukan saja al-Qutb bagi umat manusia, bahkan juga ke atas seluruh bangsa jin.”

Telah bercerita asy-Syaikh Abi ‘Umar ‘Uthman dan asy-Syaikh Abu Muhammad ‘Abdul Haqq al-Huraimy: Pada 3 hari bulan Safar, kami berada di sisi asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani Pada waktu itu, asy-Syaikh sedang mengambil wudu dan memakai sepasang terompah. Setelah selesai menunaikan solat dua rakaat, dia telah bertempik dengan

tiba-tiba, dan telah melemparkan salah satu dari terompah-terompah itu dengan sekuat tenaga sampai tak nampak lagi oleh mata. Selepas itu, dia telah bertempik sekali lagi, lalu melemparkan terompah yang satu lagi. Kami yang berada di situ, telah melihat dengan ketakjubannya, tetapi tidak ada seorang pun yang telah berani menanyakan maksud

semua itu. Dua puluh tiga hari kemudian, sebuah kafilah telah datang untuk menziarahi asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilany. Mereka (yakni para anggota kafilah itu) telah membawa hadiah-hadiah untuknya, termasuk baju, emas dan perak. Dan yang anehnya, termasuk juga sepasang terompah. Apabila kami amat-amati, kami lihat terompah-terompah itu adalah terompah-terompah yang pernah dipakai oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pada satu masa dahulu. Kami pun bertanya kepada ahli-ahli kafilah

itu, dari manakah datangnya sepasang terompah itu. Inilah cerita mereka:

Pada 3 haribulan Safar yang lalu, ketika kami sedang di dalam satu perjalanan, kami telah

diserang oleh satu kumpulan perompak. Mereka telah merampas kesemua barang-barang kami dan telah membawa barang-barang yang mereka rampas itu ke satu lembah untuk dibagi-bagikan di antara mereka. Kami pun berbincang sesama sendiri dan telah

mencapai satu keputusan. Kami lalu menyeru asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani agar menolong kami. Kami juga telah bernazar apabila kami sudah selamat, kami akan memberinya beberapa hadiah. Tiba-tiba, kami terdengar satu jeritan yang amat

kuat, sehingga menggegarkan lembah itu dan kami lihat di udara ada satu benda yang sedang melayang dengan sangat laju sekali. Beberapa waktu kemudian, terdengar satu lagi bunyi yang sama dan kami lihat satu lagi benda seumpama tadi yang sedang melayang ke arah yang sama. Selepas itu, kami telah melihat perompak-perompak

itu berlari lintang-pukang dari tempat mereka sedang membagi-bagikan harta rampasan itu dan telah meminta kami mengambil balik harta kami,karena mereka telah ditimpa satu kecelakaan. Kami pun pergi ke tempat itu. Kami lihat kedua orang pemimpin perompak itu telah mati. Di sisi mereka pula, ada sepasang terompah. Inilah terompah-terompah itu.

Telah bercerita asy-Syaikh Abduh Hamad ibn Hammam:

Pada mulanya aku memang tidak suka kepada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Walaupun aku merupakan seorang saudagar yang paling kaya di kota Baghdad waktu itu, aku tidak pernah merasa tenteram ataupun berpuas hati.Pada suatu hari, aku telah pergi menunaikan solat Jum’at. Ketika itu, aku tidak mempercayai tentang cerita-cerita karomah yang dikaitkan pada asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Sesampainya aku

di masjid itu, aku dapati beliau telah ramai dengan jamaah. Aku mencari tempat yang tidak terlalu ramai, dan kudapati betul-betul di hadapan mimbar.

Di kala itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani baru saja mulai untuk khutbah Jumaat. Ada beberapa perkara yang disentuh oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani yang telah menyinggung perasaanku.Tiba-tiba, aku terasa hendak buang air besar. Untuk keluar dari masjid itu memang sukar dan agak mustahil. Dan aku dihantui perasaan gelisah dan

malu, takut-takut aku buang air besar di sana di depan orang banyak. Dan kemarahanku terhadap asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun bertambah dan memuncak.

Pada saat itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah turun dari atas mimbar itu dan telah berdiri di hadapanku. Sambil beliau terus memberikan khutbah, beliau telah menutup tubuhku dengan jubahnya. Tiba-tiba aku sedang berada di satu tempat yang lain, yakni di satu lembah hijau yang sangat indah. Aku lihat sebuah anak sungai sedang mengalir perlahan di situ dan keadaan sekelilingnya sunyi sepi, tanpa kehadiran seorang manusia. Aku pergi membuang air besar. Setelah selesai, aku mengambil wudlu. Apabila aku sedang berniat untuk pergi bersolat, dan tiba-tiba diriku telah berada ditempat semula di bawah jubah asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Dia telah mengangkat jubahnya dan

menaiki kembali tangga mimbar itu.

Aku sungguh-sungguh merasa terkejut. Bukan karena perutku sudah merasa lega, tetapi juga keadaan hatiku. Segala perasaan marah, ketidakpuasan hati, dan perasaan-perasaan jahat yang lain, semuanya telah hilang.

Selepas sembahyang Jum’at berakhir, aku pun pulang ke rumah. Di dalam perjalanan, aku menyadari bahwa kunci rumahku telah hilang. Dan aku kembali ke masjid untuk mencarinya. Begitu lama aku mencari, tetapi tidak aku temukan, terpaksa aku menyuruh

tukang kunci untuk membuat kunci yang baru.Pada keesokan harinya, aku telah meninggalkan Baghdad dengan rombonganku karena urusan perniagaan. Tiga hari kemudian, kami telah melewati satu lembah yang sangat indah.

Seolah-olah ada satu kuasa ajaib yang telah menarikku untuk pergi ke sebuah anak sungai. Barulah aku teringat bahwa aku pernah pergi ke sana untuk buang air besar, beberapa hari sebelum itu. Aku mandi di anak sungai itu. Ketika aku sedang mengambil jubahku, aku telah temukan kembali kunciku, yang rupa-rupanya telah tertinggal dan telah tersangkut pada sebatang dahan di situ.

Setelah aku sampai di Baghdad, aku menemui asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani dan menjadi anak muridnya.

Telah bercerita asy-Syaikh ‘Adi ibn Musafir al-Hakkar:

Aku pernah berada di antara ribuan hadirin yang telah berkumpul untuk mendengar pengajian asy-Syaikh. Ketika asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani sedang berbicara, tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Beberapa orang pun berlari meninggalkan tempat itu. Langit kala itu sedang diliputi awan hitam yang menandakan hujan akan terus turun dengan lebat. Aku melihat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani mendongak ke langit dan

mengangkat tangannya serta berdoa, “Ya Robbi! Aku telah mengumpulkan manusia karenaMu, adakah kini Engkau akan menghalau mereka daripadaku?”

Setelah asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berdoa, hujan pun berhenti. Tidak setitik hujan yang jatuh ke atas kami, pada hal di sekeliling kami hujan masih terus turun dengan deras.Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat:

Pada suatu hari, isteri-isteri asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah bertemu dengannya dan telah berkata, “Wahai suami kami yang terhormat, anak lelaki kecil kita telah meninggal dunia. Namun kami tidak melihat setitik air mata pun yang mengalir dari mata kekanda dan tidak pula kekanda menunjukkan tanda kesedihan. Tidakkah kekanda

menyimpan rasa belas kasihan terhadap anak lelaki kita, yang merupakan sebagian darah daging kekanda sendiri? Kami semua sedang dirundung kesedihan,namun kekanda masih juga meneruskan pekerjaan biasa kekanda, seolah-olah tiada sesuatu pun yang telah berlaku. Kekanda adalah pemimpin dan pelindung kami di dunia dan di akhirat. Tetapi

jika hati kekanda telah menjadi keras sehingga tiada lagi menyimpan rasa belas kasihan, bagaimana kami dapat bergantung kepada kekanda di Hari Pembalasan kelak?”

Maka berkatalah asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani “Wahai isteri-isteriku yang tercinta! Janganlah kamu semua menyangka hatiku ini keras. Aku menyimpan rasa belas kasihan di hatiku terhadap seluruh makhluk, sampai terhadap orang-orang kafir dan juga terhadap anjing-anjing yang menggigitku. Aku berdoa kepada Allah agar anjing-anjing itu

berhenti menggigit, bukanlah karena aku takut digigit, tetapi aku takut nanti manusia lain akan melontar anjing-anjing itu dengan batu. Tidakkah kamu mengetahui bahwa aku mewarisi sifat belas kasihan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang telah diutus Allah sebagai rahmat untuk sekalian alam?”

Maka wanita-wanita itu telah berkata pula, “Kalau benar kekanda mempunyai rasa belas kasihan terhadap seluruh makhluk Allah, sampai kepada anjing-anjing yang menggigit kekanda, kenapa kekanda tidak menunjukkan rasa sedih atas kehilangan anak lelaki kita yang telah meninggal ini?”

Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun menjawab, “Wahai isteri-isteriku yang sedang berdukacita, kamu semua menangis karena kamu semua merasa telah berpisah daripada anak lelaki kita yang kamu semua sayangi. Tetapi aku sentiasa bersama dengan orang-orang yang aku sayangi. Kamu semua telah melihat anak lelaki kita di dalam satu ilusi yang disebut dunia. Kini, dia telah meninggalkannya lalu berpindah ke satu tempat yang lain. Allah telah berfirman (Surat al-adid, ayat 20):

“dan tiadaklah kehidupan dunia ini melainkan hanyalah satu ilusi saja.” Memang dunia ini adalah satu ilusi, untuk mereka yang sedang terlena. Tetapi aku tidak terlena – aku melihat dan waspada. Aku telah melihat anak lelaki kita sedang berada di dalam bulatan masa, dan kini dia telah keluar darinya. Namun aku masih dapat melihatnya. Dia kini berada di sisiku. Dia sedang bermain-main di sekelilingku, sebagaimana yang pernah dia lakukan pada masa dahulu. Sesungguhnya, jika seseorang itu dapat melihat Kebenaran melalui mata hatinya, sama dengan yang dilihatnya masih hidup ataupun sudah mati, maka Kebenaran itu tetap tidak akan hilang.”

Telah diceritakan di dalam sebuah riwayat: Pada suatu hari, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berjalan-jalan dengan beberapa muridnya di padang pasir. Waktu itu hari sangat panas, dan mereka sedang berpuasa. Oleh itu mereka merasa letih dan dahaga.

Tiba-tiba, sekumpulan awan muncul, yang melindungi mereka dari panas terik matahari. Setelah itu, sebatang pohon kurma dan sebuah kolam air muncul di hadapan mereka. Mereka telah terpesona. Kemudian satu cahaya besar yang berkilauan, telah muncul dari celah awan di hadapan mereka dan kedengaranlah satu suara dari dalamnya yang telah

berkata, “Wahai ‘Abdul Qadir, akulah Tuhanmu. Makan dan minumlah, karena pada hari ini, telah aku halalkan untuk engkau apa yang telah aku haramkan untuk orang-orang lain.” Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pun melihat ke arah cahaya itu dan berkata, “Aku berlindung dengan Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”

Tiba-tiba, cahaya, pohon kurma dan kolam itu semuanya hilang dari pandangan mata. Maka kelihatanlah Iblis di hadapan mereka dengan bentuk rupanya yang asli.

Iblis bertanya, “Bagaimanakah engkau dapat mengetahui itu sebenarnya adalah aku?”

Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah menjawab, “Syariat itu sudah sempurna, dan tidak akan berubah sampai Hari Kiamat. Allah tidak akan mengubah yang haram kepada yang halal, walaupun untuk orang-orang yang menjadi pilihanNya (waliNya).”

Maka Iblis pun berkata lagi untuk menguji asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani “Aku telah mampu menipu 70 kaum daripada golongan as-salikin (yakni orang-orang yang menempuh jalan kerohanian) dengan cara ini. Ilmu yang engkau miliki lebih luas

daripada ilmu mereka. Apakah hanya ini jumlah pengikutmu? Sudah sepatutnya semua penduduk bumi ini menjadi pengikutmu, karena ilmumu menyamai ilmu para nabi.”

Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani menjawab, “Aku berlindung dengan Allah Yang Maha Mendengar, Yang Maha Mengetahui, daripada engkau. Bukanlah karena ilmuku aku terselamat, tetapi karena rahmat daripada Allah, Pengatur sekelian alam.”